Senin, 28 April 2014

Catatan Alumnus Salak

Ide ini mula-mula dari Power Ranger n’Friend, sepertinya mereka galau abis, saat melihat photo-photo saya di Cikuray atau Uly di Gede, hahaha… *Pedehh 

Intinya kita semua kangen Gunung ajah, titik(.) *Kitaaaa…???akuuurrr… 

Allah SWT, Maha pencipta keindahan…
Mereka hidup, berdzikir tak kenal lelah, sujud dan taat mengikuti perintah penciptanya. Kangen mendengarkan mereka bercerita, kicauan burung-burung yang bersahutan, hembusan angin, tarian pepohonan, perkasanya gunung, kemilau matahari yang menyinari, gemericik air mengalir, aroma daun bercampur tanah, tetesan embun. Subhanallah… paduan yang luar biasa indahnya.

Terencana tiga bulan, sejak Januari hingga pertengahan April , *lamanyaaaa… dan
Alhamdulillah… akhirnya bisa menjumpaimu, dari trip awal ke Gede-Pangrango, ganti ke Papandayan, balik lagi ke Gede-Pangrango namun akhirnya Salak yang Allah Ridhoi… (Jodohku, kata mas lanang heransayah. Hahaha…)

Pengumpulan Informasi
Dimulai Januari sampai Februari 2014, rencana ke Gede-Pangrango kami urungkan karena jalur pendakian sementara ditutup, akibat cuaca dan kasus kematian pendaki pemula. Beralihlah ke Papandayan, di bulan ini fokus kami hanya pada siaga banjir, sedikit informasi yang tergali untuk rencana pendakian ini. Meletusnya Sinabung kemudian disusul Kelud, tertahanlah impian kami, apalagi saat mengetahui Papandayan berada dalam daftar 22 gunung berapi di Indonesia, dengan status waspada level 2.

Akhir Maret, Back to Gede-Pangranggo.  
Tak apalah dengan kuda besi, cukup berdua saja kami mengawali survei ini, merumuskan kembali mimpi-mimpi menjumpaimu. Sore yang indah menuju kota bogor, menikmati khitmatnya sholat Maghrib dan Isya di Masjid Raya Bogor, sedapnya serabi pisang-keju-susu ada juga yang dikombinasikan dengan durian, ditemani secangkir kopi susu atau jus jeruk, aah… Ma’nyuz bonus empat jempol, dan kami memutuskan bermalam di rumah sahabat berbagi kisah. 

Pagi yang sejuk di kota Bogor, sedikit terlibat dalam kegiatan kerelawanannya, di sebuah pesantren bernama Ummul Quro, santriwatinya cantik, lugu dan ramah, euy… *benerin jilbab sambil ngaca
Dan cukup tau saja kalau orang bogor bilang deket, padahal arti sebenarnya jauh, apalagi kalau bilang jauh ya?

Setelah sholat Dhuhur di masjid Al Hurriyyah IPB yang indah, kemudian kami pamit menuju Cibodas, mendaftarkan diri menemuimu. Dalam waktu lima puluh menit tancap gas, Alhamdulillah… kami sampai. Karcis retribusi di dae
rah wisata ini cukup mengelitik, tertulis tiga ribu rupiah persatu orang, tapi kami musti bayar sembilan ribu, *Nahloh… sisanya kemana tuh? Bapak… Ibu…(gaya Ibel…)

Dibawah karcis tertulis, “Bisikan Alam : Biarkan aku tumbuh, Demi masa depanmu yang jaya”.

Sampai di kantor pendaftaran lagi-lagi harus menelan kekecewaan, pengajuan pendakian kami, di tolak. Ada juga calo yang menawarkan pendakian, tapi cukuplah akhiri sejenak perjalanan ini, mari tutup dengan menikmati nasi soto dan teh hangat, mengulas kembali cerita-cerita indah di Mandalawangi, sambutan paralayang di Puncak Pass yang berayun di langit sore, mendarat indah dihamparan kebun teh. Kereeeen… 

Menjelang senja, kami menghubungi Mang Ojo, guide yang memang sejak awal akan menemani, dalam pendakian ini, harap bisa membantu, kebuntuan usaha ini, menjumpaimu… dan pendaftaran Gede-Pangrango kami sepakati lewat jalur Salabintana dan bila tak terwujud, Salak akhir keputusan kami.

April, Go to Salak I’m comeback again…
 
Menyiapkan perlengkapan, menjaga kondisi fisik dan perbekalan, merupakan fokus kami saat ini. Saya bahagia dan bersemangat, melihat keyakinan dan antusias teman-teman untuk terus melanjutkan trip ini, walaupun tempat berganti-ganti, perlengkapan yang belum memadai dan jumlah kami, menjelang pendakian malah semakin sedikit. 

Jum’at, 18 April 2014.
Bismillah… total jumlah kami, fix dua belas orang, tujuh srikandi, tiga pengawal dan dua panglimanya. *ups, haha.. tujuh wanita, dan lima laki-laki.
Kereta merupakan alternatif yang paling nyaman, murah dan mudah yang kami pilih. Bertemu di stasiun Bekasi, berangkat pukul 07.00 wib, dan sebagian ada yang melalui stasiun Pondok Kopi. Pukul 09.00 wib, kurang lebih sampai di stasiun Bogor, bertemu mang ojo dan mang marsya, belanja sedikit perbekalan makanan, kemudian trip dilanjutkan lewat arah timur menuju jalur Cimelati dekat Cicurug, tepatnya perkebunan murbei dengan carter angkot yang doyan minum teh gelas,*amajing, bingit…
Pukul 12.00 wib sampailah tempat yang dituju, sholat jum’at, lalu istirahat sejenak di pos registrasi. Trip kami mulai pukul 16.00 wib, memasuki rerimbunan hutan Gunung Salak, menerobos semak, melewati satu demi satu pepohonan yang menjulang, menyusuri jejak, sunyi, sepi dan tak terlihat seorang pun pendaki, serasa hutan hanya milik kita. Dalam hati, Berharap semoga pengalaman mistik tahun kemarin tak terulang lagi. *Huwaaa…
Mengawali langkah dengan do’a bersama, pompaan motivasi semangat, sesekali celotehan yang mengelitik, dari ibel… ibil dan ubil (bukan nama sebenarnya, sebut saja begitu,hahaha…).
Tiga jam perjalanan, Menjelang maghrib, kami sampai di shelter 9, dan bermalam. Tempat ini merupakan satu-satunya sumber air. Menikmati racikan nasi liwet, ala chef mang ojo dan sruputan kopi susu, sungguh hutan yang ramah menyambut hangat kehadiran kami.

Sabtu, 19 April 2014.
Pagi pukul 07.30 wib selesai cek packing dan sarapan, kami melanjutkan perjalanan, menuju puncak.

Gunung salak, memang bukan gunung tertinggi di Jawa Barat, berada di wilayah kabupaten bogor dan kabupaten sukabumi, memiliki beberapa puncak, puncak tertingginya yaitu Gunung salak 1 (2.211 Mdpl). Namun tak mudah mendakinya, jalurnya terjal dan licin, apalagi di saat musim penghujan, Tragedi Sukhoi masih menjadi catatan kisah yang terus diulas disana, dan para penziarah selalu berdatangan tiap bulannya.

Trip menuju puncak banyak diselingi istirahat, ada 13 pos.

Cemilan, coki-coki, mie gelas dan energen cukuplah untuk mengobati mata saya yang kunang-kunang, *hahaha… dan Saya tercatat paling sering istirahat, selalu terakhir dalam barisan, “santai bin alon-alon asal teko neng puncak karo mas slamet lorenzo,kawan…” *haha… ngeles…

Pukul 13.00 wib, Alhamdulillah… sampai Puncak Salak 1, sumringah… capenya hilang. 

Beristirahat sejenak dan mendokumentasikan sudut-sudut favorit, di puncak salak 1.
Di Puncak salak 1 terdapat petilasan, Raden KH Moh. Hasan bin RKH Bahyudin Braja, yang biasa di sebut makam Embah Salak. Ngeri mendengar cerita mang ojo (volunteer sukhoi), Tempat lapang kami bernarsis ria ternyata dahulu tempat meletakkan mayat korban sukhoi.

Makam embah salak kabarnya juga rusak akibat tragedi tersebut, akibat tertimpa logistik, tapi kini sudah mengalami perbaikan.

Mendung berkabut mulai menyelimuti puncak, hujan turun perlahan dan kami bersiap turun melalui jalur berbeda, menuju camp kedua, biasa di sebut Bajuri, kurang lebih jaraknya 5 Km dari puncak. Pukul 13.44 wib kami beranjak meninggalkan puncak, kostum berganti jas hujan, menuruni jalur curam, licin bergelayut dengan seutas tambang, tertusuk duri semak merambat, senantiasa berhati-hati menyusuri jalur ini.
Sisi-sisinya jurang yang tertutupi lebatnya hutan yang kaya ragam vegetasi hutan hujan tropis, ada kantung semar dan anggrek. Berbeda di jalur sebelumnya, kami banyak bersua pendaki yang baru naik ataupun turun. Kemudian melewati rute salak 3 dan salak 4, menyembul kawah ratu dibawahnya indah nian hamparan pegunungan ini.

Hari mulai gelap, lembab, menipisnya oksigen, dingin, lelah dan tentunya lapar, saudara-saudari… *hahaha…

 Melewati lumpur yang ternyata kubangan babi, belepotan dan kejeblos.*oohh… my God, ga pada bilang padaan…

Menuruni bebatuan dan pohon tumbang, merosot dan menunduk, bergesas harus kami selusuri berkejaran dengan waktu, untuk segera mencapai Camp Bajuri, pukul 23.00 wib belum sampai ditempat yang dituju, sebagian dari kami sudah limbung kelelahan, bahkan kami sempat terpisah.
Salut untuk mang ojo dan mang marsya, yang tetap semangat dengan sepatu boot dan carrier besarnya, ditambah membawa beberapa carrier kami. *My Hero, sodorin bunga. haha…
Pukul 01.00 wib, kami baru sampai di Bajuri, dan bermalam disana. Pusat perkemahan pendaki, dan tentunya sumber air bersih melimpah ruah disini. 

Ahad, 20 April 2014
Hari yang indah, setelah sarapan dan cek packing, pukul 09.30 wib trip dilanjutkan turun menuju kawah ratu, gunung Bunder, taman nasional hutan gunung halimun. Berdo’a bersama dan menyemangati.

Menyusuri aliran sungai kecil, patok perbatasan kabupaten bogor-kebupaten sukabumi, landasan helly dan menikmati tanaman perdu hutan hujan tropis, ada begonia yang biasa di makan pada batangnya, asem-asem seperti belimbing sayur, batang sagu, pakis dan buah haredong (senggani), rasanya manis, kecil, berbulu dan ungu tua.  Menyusuri sumber mata air, walau landai tetap harus berhati-hati menyusurinya, sesekali menunduk.

Melewati jalur kawah mati I dan II, vegetasi tembakau merajai, terjal, agak menanjak, bau belerang semakin menusuk di jalur ini.

Tak bisa kami berlama-lama menikmati keindahan kawah Ratu, karena adanya papan peringatan, petunjuk untuk tidak berjongkok lebih dari 3 menit, karena bahaya ancaman gas beracun. Menyantap agar-agar dan berphoto, kemudian kami melanjutkan perjalanan. Menyusuri sungai kecil, ada yang warnanya putih dan hangat pengaruh belerang masih terasa.



Memasuki hutan, bebatuan yang berlumut dan hujan semakin deras, banyak jalan air yang kami lewati, banjir dan memotong arus sungai yang deras, tak ada papan petunjuk disini.


Pukul 16.00 wib, Alhamdulillah… kami sampai jalur barat pintu masuk kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, beristirahat di kediaman mang ojo dan keluarga, membersihkan diri, sholat maghrib, menikmati makan malam dan berpamitan. Sedih bercampur senang, meninggalkan gunung ini dan seluruh keindahan di dalamnya, bertemu keluarga dan orang-orang tercinta, melanjutkan kembali aktifitas dalam hiruk pikuk kota.

Bagi sebagian orang berpendapat, mendaki gunung membuang-buang waktu, menantang bahaya, menakutkan, cari penyakit dsb, saya pun dulu juga berpikir begitu. 

Alhamdulillah… saya mendapatkan motivasi dan semangat baru, dalam balutan hikmah, menapaki hijau, kokoh, tenang dan sejuknya pegunungan ini.

Dan saya yakin, teman-teman juga mendapatkan motivasi dan hikmah jauh lebih dahsyat dan tak sesederhana saya…
Menaklukan kesombongan dan ketakutan, belajar bersabar, bersahabat dengan alam menjaga kelestariannya, pantang menyerah, banyak mensyukuri nikmat islam, usia, kesehatan, keluarga yang Allah anugerahkan… terlalu dini memang, saya mengucapkannya apalagi kedangkalan pengalaman dan ilmu yang saya dapat, bila Allah berkehendak masih banyak impian saya menjumpai gunung-gunung yang indah di Indonesia.

Bisa mencapai puncak memang tujuan tiap pendaki, tapi proses mencapainya jauh lebih berharga, kenangan indah yang menjadi untaian cerita di hari tua. Gasten Rebuffat-the great alpinist/ahli mountaineering, 1921-1985, Prancis mengatakan “Manusia Cuma bisa menjejak puncak, tapi tak pernah bisa menaklukan gunung”.

Terimakasih untuk semuanya, Allah SWT, do’a ikhlas kedua orang tua, Indonesia tanah air beta dengan Gunung salak beserta isinya, pejuang tangguh yang menyertai ada uly, yuniar, desi, kiki, lisa dan marwiyah(rela jauh-jauh dari lampung), zulkifli, dhani, ikbal, mang ojo-keluarga dan mang marsya. Mohon maaf dan terimakasih… terimakasih… terimakasih…

Nurannida, 28 April 2014