Sore
dimushola Ar Rahmah, mushola yang merupakan salah satu sarana yang disediakan
rumah sakit ini, ku menikmati derasnya hujan, mengamati gemericik air dipipa,
yang jatuh perlahan membentuk kolam – kolam kecil, kemudian meluap membanjiri
sudut – sudut taman. Rasanya Dingin angin yang berhembus semakin menciutkan
tubuh...
Terlihat
keluarga pasien yang khusu’ berdialog meminta pada Sang Pencipta, lantunan ayat
– ayat suci terdengar samar – samar syahdu mendayu haru. Ku tenggok disudut
kiri, lingkaran kecil saling membagi duka. Lingkaran kumpulan keluarga pasien,
sesekali terdengar perbincangan mereka, dan tergelitik hati mendengarkannya,
hingga batin berdesah “sungguh, dukaku bukan apa – apa dibanding mereka”.
Melihat lengkungan senyum dan riuhnya tawa canda anak – anak, serasa
menormalkan kembali hidup mereka, dalam beradaptasi dikehidupan yang baru ini.
Ya,
kehidupan di rumah sakit, hunian sementara yang memang bukan tempat semestinya menyuguhkan
kenyamanan fisik dan hati, bagi mereka yang berada disana. Baik itu kisah suka atau duka yang terangkai
didalamnya. Walau terbiasa dengan ritme kehidupannya, saya tetap tak tentram.
Kejutan – kejutan selalu terangkai bersamanya.
Kunjungan saya kali ini, Allah ingin memberi
potret kehidupan anak – anak, dan orang tua yang sedang pada masa – masa
kritis, ada kelainan jantung, kanker, tumor, kelahiran abnormal dsb. Sebelas
jam disini rasanya seminggu,he...
Masih
terbesit diingatan, saat menunggu antrian diLaboratorium umum, melintas
rombongan dokter dan perawat yang sibuk membawa seorang bayi yang baru
dilahirkan, dengan selang dan perlengkapan medis, penunjang hidupnya, terlihat
si ayah bayi lemas dikursi roda tak kuasa menahan duka, menyaksikan buah hati
bertaruh nyawa melawan penyakitnya, setelah itu berikutnya giliran melintas
rombongan paramedis dengan pasien, seorang ayah yang telah lanjut usia
berbaring ditempat tidur yang juga dilengkapi peralatan medis, dalam keadaan koma.
Dan si anak yang tak kuasa menahan tangis. Gambaran kehidupan yang dibolak –
balik lakonnya, dan saya saat itu Allah takdirkan giliran menjadi penontonnya.
Itulah sedikit gambaran, saat berekreasi hati dirumah sakit rujukan
seIndonesia, sarat hikmah dan harapan pada Pencipta kehidupan.
Rekreasi
hati, dapat kita rasakan tidak saja di rumah sakit, bisa dipanti asuhan, panti
jompo, pedagang pinggir jalan, bahkan sanak saudara yang kekurangan, bukan
rekreasi dalam arti hiburan sebenarnya namun, tapi rekreasi yang membawa hati
untuk dapat merenungi, merasakan dan menginggatkan diri bahwa kematian begitu
dekat dan sehat itu mahal didapat, bisa makan teratur, beristirahat nyaman, ada
tempat berteduh, merasakan kasih sayang keluarga, sarana – prasarana canggih yang
kadang masih kita keluhkan dan kenikmatan – kenikmatan yang kita rasakan, jauh
lebih baik dan beruntungnya kita dibandingkan saudara-saudari yang kekurangan.
Rekreaksi
hati kadang, bisa kita lakukan dengan memanfaatkan perjalanan saat pulang,
misalnya dimalam hari dengan melihat pinggir – pinggir jalan, menyulusuri pemandangan miris, ada anak –
anak, ibu, ayah, manula terlihat mengais – ngais tumpukan sampah. Beberapa
berjalan tertatih dengan sorot mata penuh pengharapan, apakah ada ronsokan
berharga tersisa untuknya. Sedih, pilu melihatnya, dan rasa syukur yang ku
ulang – ulang dalam hati.
Kerasnya jalanan,
mendesaknya kebutuhan, memaksa mereka mengais – ngais dimalam yang dingin ini.
Hidup dijalanan, didalam gerobak rasanya bukan hal aneh lagi. Akankah kemiskinan
yang dirasakan ini berujung suka.
Menurut
saya rekreasi hati merupakan suplemen dalam ritme hidup kita, melatih rasa
kepekaan, kepedulian dan bila harta berlebih bisa saling berbagi. Gangguan
penyakit, cacat fisik, kemiskinan harta merupakan ujian yang Allah berikan,
pada hamba – hamba yang Ia kehendaki. Namun ujian tersebut adalah masih lebih
baik dibandingkan sakitnya hati, cacatnya ruh, dan miskinnya kebaikan dalam
diri kita.
Semoga
rekreasi kali ini memotivasi diri banyak bersyukur, dalam keadaan sempit
ataupun lapang. Ujian buat seorang hamba, penginggat dan penggugur kesalahan –
kesalahan kita dalam hidup didunia ini, yang tentunya dilandasi niat ikhlas
menjalani dan kesabaran yang tak bertepi. (Bekasi,
15 Desember 2012, Nurannida**)