Senin, 10 Desember 2012

Tak ada Penghalang dalam Kebaikan



 
“Karena perbuat baik banyak disalah gunakan, saat ada yang membutuhkan malah diabaikan...”
Itulah kesimpulan yang saya dapat dari beberapa peristiwa, berikut sedikit saya uraikan, semoga saja bisa berbagi pengalaman. Beberapa hari lalu terjadi disamping rumah, seorang pemulung sampah membawa gerobak, usianya kira-kira 45 tahunan entah apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya roboh jatuh disamping tong sampah yang sedang dikaisnya.. orang-orang yang tak sengaja melihat hanya datang menonton, namun banyak pula yang masuk kerumah, malah ada yang tutup pintu tak ingin tersangkut urusan kalau-kalau si pemulung kenapa-napa, salahkah sikap mereka ???.
 Ada lagi kisah seorang pasien pengguna Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), program dari pemerintah. Mendaftarkan anggota keluarga yang sakit dengan seluler smartphone digenggaman dan sepeda motor keluaran terbaru saat membawanya, tertera alamat pasien tinggal di perumahan, potret kehidupan tersebut berbanding terbalik dengan seorang pasien umum (bayar dengan uang pribadi) hidup serba kekurangan, tinggal dipinggiran gunung sampah, membesarkan anaknya seorang diri karena suami yang tak jelas rimbanya, hidup bersama dengan dua orang tua yang sudah renta yang salah satunya sakit stroke. Saat musim hujan, bebannya kian bertambah-tambah karena tempat tinggalnya tertelan banjir, lalu dimana rasa keadilan itu???.
Selanjutnya yaitu dilema yang slalu mengusik walaupun positif thinking selalu kita kedepankan, yaitu saat bertemu anak-anak pengamen, peminta-minta di sudut-sudut jalanan, dari angkot ke angkot, walaupun tangan memberi, tapi hati rasanya masih di selimuti gundah, was-was bila mana uang kita di salah gunakan (belum ikhlas jadinya), malah terkadang saya milih-milih orang dalam memberi, atau saya menimbang-nimbang baik buruknya, dan akhirnya tiba pada kesimpulan tak memberi saja. Menimbang – nimbang kebaikan, haruskah???.
Fenomena ini memang sering terjadi, dari kejadian-kejadian sederhana sampai besar, yang ujungnya menjadi kabur tak ada penyelesaiannya, kenapa menolong itu menjadi berat bahkan nyaris langka, saat banyak orang-orang yang memang membutuhkan uluran tangan kita, jadi terabaikan dan kesempatan hilang sia-sia, apakah karena ulah segelintir orang yang menyalah gunakannya???, kemudian siapakah yang salah? Lalu bagaimana mendapatkan rasa keadilan itu? Atau berharap agar kebaikan yang dilakukan tepat sasarannya...
 Pelik, memang namun saya memilih bercermin diri, saat mendapati cerita dari ibu kalau pagi tadi ada seorang pengemis yang tak kuat lagi menahan lapar merelakan uang yang didapat Rp. 3000, untuk membeli nasi dengan lauk seadanya, spontan saya lemas mendengarnya karena teringat kegemaran saya berbelanja barang-barang yang terkadang kurang bermanfaat bisa raib dengan mudahnya.
Apakah ini miniatur kepekaan yang semakin menipis dalam diri kita?tergerus perlahan namun pasti hingga individualisme lebih diagungkan, ataukan budaya konsumtif dan mengekor hedonisme yang sekarang menjadi sebuah kebutuhan?sehingga berbuat kebaikan yaitu peduli pada sekitar bukan lagi sebuah kebutuhan atau kenikmatan, dan saya menyadari ternyata berbuat baik bukanlah untuk menyenangkan orang lain atau membantu saja, namun yang kita beri semua kembali kepada kita sendiri, yaitu bekal kebahagiaan kita dalam menjalani hidup kini dan nanti, dan saya masih harus banyak-banyak belajar dan berbenah diri...
Semoga kita selalu diingatkan, dikumpulkan dan diluruskan dalam jalan kebaikan, ringan mengucapkan rasa syukur dan diberi limpahan rizki oleh-Nya hingga dapat menolong lebih banyak lagi pada sesama,aamiin... (Bekasi,22 juni 2012, Nurannida**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar