“Karena perbuat baik banyak disalah gunakan, saat
ada yang membutuhkan malah diabaikan...”
Itulah
kesimpulan yang saya dapat dari beberapa peristiwa, berikut sedikit saya
uraikan, semoga saja bisa berbagi pengalaman. Beberapa hari lalu terjadi
disamping rumah, seorang pemulung sampah membawa gerobak, usianya kira-kira 45
tahunan entah apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya roboh jatuh disamping tong
sampah yang sedang dikaisnya.. orang-orang yang tak sengaja melihat hanya
datang menonton, namun banyak pula yang masuk kerumah, malah ada yang tutup
pintu tak ingin tersangkut urusan kalau-kalau si pemulung kenapa-napa, salahkah
sikap mereka ???.
Ada lagi kisah seorang pasien pengguna
Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), program dari pemerintah. Mendaftarkan
anggota keluarga yang sakit dengan seluler smartphone
digenggaman dan sepeda motor keluaran terbaru saat membawanya, tertera
alamat pasien tinggal di perumahan, potret kehidupan tersebut berbanding
terbalik dengan seorang pasien umum (bayar dengan uang pribadi) hidup serba
kekurangan, tinggal dipinggiran gunung sampah, membesarkan anaknya seorang diri
karena suami yang tak jelas rimbanya, hidup bersama dengan dua orang tua yang
sudah renta yang salah satunya sakit stroke. Saat musim hujan, bebannya kian
bertambah-tambah karena tempat tinggalnya tertelan banjir, lalu dimana rasa
keadilan itu???.
Selanjutnya
yaitu dilema yang slalu mengusik walaupun positif
thinking selalu kita kedepankan, yaitu saat bertemu anak-anak pengamen,
peminta-minta di sudut-sudut jalanan, dari angkot ke angkot, walaupun tangan
memberi, tapi hati rasanya masih di selimuti gundah, was-was bila mana uang
kita di salah gunakan (belum ikhlas jadinya), malah terkadang saya milih-milih
orang dalam memberi, atau saya menimbang-nimbang baik buruknya, dan akhirnya
tiba pada kesimpulan tak memberi saja. Menimbang – nimbang kebaikan,
haruskah???.
Fenomena
ini memang sering terjadi, dari kejadian-kejadian sederhana sampai besar, yang
ujungnya menjadi kabur tak ada penyelesaiannya, kenapa menolong itu menjadi
berat bahkan nyaris langka, saat banyak orang-orang yang memang membutuhkan
uluran tangan kita, jadi terabaikan dan kesempatan hilang sia-sia, apakah
karena ulah segelintir orang yang menyalah gunakannya???, kemudian siapakah
yang salah? Lalu bagaimana mendapatkan rasa keadilan itu? Atau berharap agar
kebaikan yang dilakukan tepat sasarannya...
Pelik, memang namun saya memilih bercermin
diri, saat mendapati cerita dari ibu kalau pagi tadi ada seorang pengemis yang
tak kuat lagi menahan lapar merelakan uang yang didapat Rp. 3000, untuk membeli
nasi dengan lauk seadanya, spontan saya lemas mendengarnya karena teringat
kegemaran saya berbelanja barang-barang yang terkadang kurang bermanfaat bisa
raib dengan mudahnya.
Apakah
ini miniatur kepekaan yang semakin menipis dalam diri kita?tergerus perlahan
namun pasti hingga individualisme lebih diagungkan, ataukan budaya konsumtif
dan mengekor hedonisme yang sekarang menjadi sebuah kebutuhan?sehingga berbuat
kebaikan yaitu peduli pada sekitar bukan lagi sebuah kebutuhan atau kenikmatan,
dan saya menyadari ternyata berbuat baik bukanlah untuk menyenangkan orang lain
atau membantu saja, namun yang kita beri semua kembali kepada kita sendiri,
yaitu bekal kebahagiaan kita dalam menjalani hidup kini dan nanti, dan saya masih
harus banyak-banyak belajar dan berbenah diri...
Semoga kita selalu diingatkan, dikumpulkan dan diluruskan
dalam jalan kebaikan,
ringan mengucapkan rasa syukur dan diberi
limpahan rizki oleh-Nya hingga dapat menolong lebih banyak lagi pada
sesama,aamiin... (Bekasi,22 juni 2012,
Nurannida**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar